Minggu, 23 November 2008

I Love My Love

Los Angeles, California serasa begitu dingin in this winter. Meskipun salju tidak sampai turun di kota ini, tapi tetap saja tiupan angin yang sangat dingin menembus hingga ke tulang sumsum. Untungnya, rasa dingin itu hanya smpai di tulang sumsumku, tidak untuk hatiku.

Justru perasaan perih yang aku rasakan malam mini. Pukul 7:25 pm tadi, Zack memaksaku untuk putus dengannya setelah sebelumnya sempat mengajakku nonton di theatre di ujung jalan. Tak lupa pula dia membelikan aku pop corrn ukuran jumbo sebagai cemilannya. Tapi siapa yang sangka dia melakukan itu sebelum dia memutuskan aku. 

Hal yang membuatku semakin perih jika mengingat kalo Zack adalah cowok ke 5 yang memutuskanku di tengah hubungan. Sebelumnya aku sempat berpacaran dengan Marco, cowok asal Italia pemilik toko roti “Italian Bread”. Juga dengan Dejan, mahasiswa asal Serbia yang selalu menegurku jika salah dalam melafalkan namanya, ataupun dengan Nihat, American yang orang tuanya keturunan Turki.

Memang begitulah konsekwensinya, aku masih ingat kata dosenku, “Life is the matter of choice, you take the choice you get the risk”. Yah, hidup tidak lebih dari persoalan memilih, dan setiap pilihan pastilah memiliki resiko. Sama halnya dengan cinta,Aku tahu itu.

Cate yang sedari tadi memperhatikanku perlahan mendekati, secangkir cappucino panas dibawakan untukku. “Do not cry babe, Man is not only Zack” Ujarnya menghibur seraya menyandarkan kepalaku di pundaknya.

Ada perasaan tenang merasuki aku, setidaknya untuk beberapa saat. Cate satu-satunya best friendku selama menjalani kuliah yang super berat di Amrik. Meskipun dia bukan dari Indonesia, tapi menurut ceritanya, dia memiliki darah Indonesia. Itu dia dapatkan dari kakeknya yang berasal dari Bulukumba. Satu daerah di Sulawesi Selatan. Bira Beach tepatnya.

Dalam hati aku mengiyakan, Zack bukanlah satu-satunya pria. Masih banyak pria di luar sana yang bisa aku jadikan sebagai pacar selanjutnya.

California masih begitu dingin malam ini, tetapi hatiku setidaknya tak lagi terlalu bersedih
***

Dua belan sejak aku break dengan Zack. Aku masih menjomblo. Tak ada teman untuk acara dinner ataupun pasangan ke pesta teman. Kul juga semakin berat, ditambah lagi target bahasa Spanyol yang harus aku kuasai belum tercapai secara maksimal. Berita bagusnya, aku diterima sebagi karyawan di sebuah suparmaket. Zack sendiri, dia pindah ke west cost mengikuti pacarnya yang baru.

Hariku-hariku terus berjalan, meski tampa seorang kekasih but life must go on. Itu yang aku selalu ucapkan saat aku merasa kesepian. Hingga pada suatu hari aku bertemu dengan Pablo, pria berkebangsaan spanyol yang baru 3 bulan di Negeri Paman Sam karena mengikuti jejak kakak nya yang tinggal di sini.

Kami bertemu di tempat aku kerja, dia kelihatan bingung saat itu, dan sebagai pelayan, aku berusaha menyapanya dan menanyakan apa yang dibutuhkannya. Namun dia diam saja, hingga memaksaku untuk mengulang pertannyaan.

“May I help you sir?” Dan dia masih tetap diam. Wajahnya pucat pasi. Entah apa yang terjadi padanya.

Dengan terbata dia berkata; I sorry. Ujarnya dengan grammar yang salah. “Yo no hablo Inglés. Hablo español” Ujarnya kemudian.

Aku tersenyum mendengarnya, dia tak mengerti bahasa Inggris rupanya, yang dia ketahui hanyalah spanyol. Pucuk dicinta ulam pun tiba, begitu pikirku saat mendengarnya. Ini saatnya mencoba bahasa spanyol yang kumiliki.

¿Puedo ayudarle tanyaku mengulang pertanyaan yang sama dalam bahasa spanyol. Ada pancaran lega dimukanya. Dan dengan cepat dia memberitahukan kepadaku kalo dia membutuhkan beberapa cereal, roti dan juga sekaleng selei kacang.

Sesaat setelah semuanya selesai, pembicaran berlanjut ke acara perkenalan, Pablo mengatakan kalo dirinya bangga melihat diriku yang mampu berbahasa spanyol, dilain pihak aku berjanji akan mengajarinya belajar berbahasa Inggris. Dan seperti biasa, janji untuk bertemu pun dengan sendirinya tercipta.

Sejak saat itu, aku kemudian intens berhubungan dengan Pablo, selain untuk melatih kemapuan berbahasa Spanyol, aku juga mengajarinya berbahasa Inggris, ditambah lagi Pablo adalah orang yang enak diajak ngomong. Namu sesungguhnya jauh dibalik itu, ada benih cinta yang muncul dariku untuk Pablo.

Sebulan bersama Pablo menjadikan aku menjadi banyak tahu tentang kehidupannya. Hidup yang tidak berkecukupan di Madrid memaksanya pindah dan memilih Amerika sebagai tempat menggantungkan harapannya. Setidaknya, disini dia bisa menjadi seorang montir di bengkel kakaknya.

Tapi hal itu bukanlah kendala untuk mengatakan “Me teamo” ( I Love You nya bahasa Spanyol) kepada Pablo. Dan syukurnya, Pablo pun mau menerimaku. Terlepas dari nantinya Pablo akan meninggalkan aku atau tidak, aku hanya akan menjalaninya.

Baik Marco, Zack, Nihat, Dejan ataupun Pablo adalah bagian kisah ku dalam upaya untuk menemukan cinta sejati ku. Dan aku menikmati semua kehidupan ku bersama mereka, setidaknya sampai mereka memutuskanku. Namun selama mereka menjadi pacarku, pasti akan kuusahakan untuk selalu mencintainya. Yeah. Love is blind, But I love my love.



Senin, 10 November 2008

Sorry, My Love

Empat tahun berpacaran pasti bukanlah waktu yang cepat. Banyak hal yang pastinya telah dilalui dengan waktu selama itu. Having fun, jalan ke mall, bertengkar, hingga putus sambung menjadi bumbu hubunganku dengan Rhena. Tapi semuanya bisa kita lalui hingga saat ini. Every thing is going well.

Celakanya, semuanya seakan terenggut saat Rhena menanyakan tentang keseriusanku, serta kapan aku akan menikahinya. Langit seakan runtuh sejak saat itu. Hampir seminggu aku merenung di kamar, berusaha untuk menenangkan diri. Entah berapa kali Rhena mengajaku keluar, namun kutolak dengan alasan lagi gak enak badan.

Sumpah, tak pernah sedikitpun aku memikirkan kapan akan menikahi Rhena. Gadis yang selama ini bersama ku. Bagi ku, hubungan ini hanyalah sebuah hubungan yang seharusnya dijalani tampa harus memikirkan apa kita harus menikah atau tidak.

Tapi nyatanya aku salah. Aku lupa kalo aku berada di Indonesia. Aku lupa kalo Rhena bukanlah wanita Barat seperti yang selama ini aku saksikan di film-film. Rhena adalah wanita Indonesia yang merasa kalau hubungan pacaran haruslah berakhir di pelaminan. Apalagi ditambah dengan tuntutan keluarga yang mengharuskannya untuk segera menikah.

Setelah mengurung diri selama satu minggu lebih, kuputuskan untuk bertemu dengan Rhena. Aku tahu kalo hal ini akan sangat sulit baginya. Tapi dia harus tahu yang sebenarnya. Dia harus bisa menerima kenyataanya.

***

Aku sengaja memilih taman kota sebagai tempat kami bertemu. Apalagi kalo bukan alasannya kalo tempat ini sepi di malam hari. Setidaknya tidak ada yang akan melihat kalo seandainya nanti aku dan Rhena bertengkar hebat.

Malam itu Rhena sangat cantik. Tangan nya menggenggam tanganku erat. Sangat erat malah. Aku bahkan hampir membatalkan rencana awalku. Namun kukuatkan hatiku untuk mengatakannya.

“Rhen, ada hal yang seharusnya kamu tahu” Ucapku perlahan
“Kenapa say, bilang aja” Ujarnya manja.

Aku tertegun mendengarnya, kata sayang itu, masihkah akan terdengar setelah pertemuan saat ini?

“Aku tak bisa menikahimu Rhen, maksudnya aku tak mungkin menikahimu.”

Aku tak perlu mengulang kata-kata ku saat itu. Kulihat Rhena seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Rhen, sejak awal aku tak pernah sedikitpun memikirkan mengenai pernikahan. Aku hanya ingin menjalani hubungan ini, Namun bukan berarti kita harus menikah kan?????” Ucapku kemudian menambahkan.

Dan seperti wanita pada umumnya, Rhena menangis saat itu. Sangat sakit pastinya. Aku bisa merasakan nya. Dan tangannya tak lagi menggenggam tanganku.

Entah karena perih yang tak tertahankan, atau karena kebencian yang muncul dari dalam diri Rhena, tiba-tiba sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Sangat keras malah, apalagi karena itu dari Rhena.

Rhena bergegas pergi setelah itu, dia masih saja terus menangis. Namun aku tidak berusaha menghentikannya. Aku sadar kalo Rhena sangat terpukul. Sama halnya dengan aku yang terpukul dengan tamparannya.

“Yeah, these all my faults. Sorry My Love”. Ujarku membatin.

Sehari setelah itu, sebuah box besar tepat berada di depan pintu kos ku saat ku terbangun. Entah siapa yang mengantarkannya. Isinya berupa segala pernak-pernik yang aku pernah berikan untuk Rhena. Bahkan surat pertama yang ku kirimkan untuknya pun turut dikembalikan.

Bersamaan dengan box itu, sepucuk surat yang hampir semua kalimatnya berisi umpatan kepada ku tak lupa juga dikirimkan Rhena. Aku jadi teringat kata-kata orang. Selisih antara Cinta dan Benci itu sangatlah tipis.

***

3 tahun sejak pertemuan terahir di taman malam itu, aku berdiri di tepi jalan di Vancouver dengan sweeter abu-abu yang aku beli dua minggu yang lalu. Meski tidak terlalu tebal, tapi setidaknya dapat mencegah dari rasa dingin yang sangat menggigit saat salju turun di kota ini.

Kini aku tinggal di Vancouver, Canada. Melanjutkan S2 ku di kota ini di sebuah universitas terkemuka. Bagaimana dengan Rhena? Berita terakhir yang aku dengar, di telah menikah dan memiliki sepasang anak kembar. Bahkan, kini sedang mengandung anak yang ketiganya.

Dalam hati, aku berdoa agar Rhena tetap bahagia selamanya. Kuharap diapun mendoakan hal yang sama buatku. Namun sepertinya hal itu mustahil terjadi. Rhena tak lagi mencintaiku. Dia membenciku.